Festival Film Tengah 2025: Menuju Ruang Liminal Sinema Global

dari kiri ke kana: Adi Atmaja, Mohammad Ifdhal, Sarah Adilah, dan Taufiqurrahman Kifu pad apress conference peluncuran Festival Film Tengah dis ekretariat Sinekoci, Palu, Sabtu (2/8/2025). (©bmzIMAGES/basri marzuki)
dari kiri ke kana: Adi Atmaja, Mohammad Ifdhal, Sarah Adilah, dan Taufiqurrahman Kifu pad apress conference peluncuran Festival Film Tengah dis ekretariat Sinekoci, Palu, Sabtu (2/8/2025). (©bmzIMAGES/basri marzuki)

pojokPALU | Di sebuah ruang sederhana di Sekretariat Sinekoci Palu, Sabtu (2/8/2025), sebuah gerakan besar sedang lahir. Tidak ada kemegahan ballroom hotel berbintang, tidak ada karpet merah yang berkilau. Yang ada hanyalah semangat membara para sineas yang berkumpul untuk meluncurkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar festival film biasa.

Mohammad Ifdhal, Direktur Festival Film Tengah, duduk di depan bersama para sineas, budayawan, dan pegiat film. Di ujunag kanan ada Taufiqurrahman Kifu dan Sarah Adilah mengangguk setuju saat Ifdhal menyampaikan visi yang telah lama mereka impikan bersama.

“Kami memandang film bukan hanya sebagai karya, tetapi juga sebagai praktik budaya, ekspresi artistik, dan cara memahami dinamika sosial,” ujar Ifdhal dengan mata berbinar, seolah-olah ia sedang membagikan sebuah rahasia yang telah lama disimpannya.

Dari Pelajar Menuju Semesta

Perjalanan Festival Film Tengah tidak dimulai dari kekosongan. Ia adalah evolusi alami dari Festival Film Pelajar Sulawesi Tengah 2024 yang mengejutkan banyak orang dengan antusiasme luar biasa dari generasi muda. Kala itu, para penyelenggara menyaksikan bagaimana para pelajar dengan peralatan seadanya mampu menciptakan karya-karya yang menyentuh hati.

“Kami melihat ada sesuatu yang lebih besar sedang tumbuh,” kenang Sarah Adilah, Manajer Festival yang telah merasakan bagaimana energi kreatif anak-anak muda Sulawesi Tengah begitu menggelora. “Festival tahun lalu seperti membuka pintu ke dunia yang selama ini terkunci.”

Kini, pintu itu terbuka lebih lebar. Festival Film Tengah 2025 tidak lagi terbatas pada pelajar, tetapi merangkul sineas umum, komunitas film, bahkan menjangkau ke seluruh Indonesia dan mancanegara. Transformasi ini bukan sekadar perluasan skala, melainkan pematangan visi tentang bagaimana film bisa menjadi jembatan penghubung antar komunitas, antar generasi, bahkan antar bangsa.

Keajaiban 197 Karya

Ketika Sarah Adilah menyebutkan angka 197 karya film yang masuk ke festival ini, ruangan sejenak hening. Bukan karena terkejut dengan jumlahnya, tetapi karena terbayang betapa beragamnya cerita yang akan hadir. Tujuh film dari luar negeri, 35 karya dari berbagai kabupaten dan kota di Indonesia, dan sisanya dari Sulawesi Tengah sendiri.

“Bayangkan,” kata Sarah dengan antusias, “setiap karya adalah dunia kecil dengan cerita uniknya masing-masing. Dari ujung Indonesia hingga negara-negara tetangga, semua berkumpul di sini, di Palu, di tengah-tengah Sulawesi.”

Menariknya, tidak semua karya akan dikompetisikan. Keputusan untuk hanya mengompetisikan karya lokal Sulawesi Tengah bukanlah diskriminasi, melainkan filosofi yang lebih dalam tentang bagaimana menghargai konteks lokal dalam percaturan global.

Lokalitas dalam Pusaran Global

Taufiqurrahman Kifu, Direktur Artistik yang dikenal dengan pemikiran filosofisnya tentang seni, menjelaskan konsep yang menjadi jantung festival ini. “Lokalitas adalah bagian dari dunia global yang terus bergerak dinamis,” katanya dengan ekspresi serius seolah melihat masa depan yang sedang terbentuk.

Baginya, era digital telah mengubah cara pandang terhadap sinematografi. Batasan-batasan geografis menjadi kabur, tetapi justru di sinilah kekuatan lokalitas menjadi semakin penting. “Ini pun memiliki benang merah dari lokalitas yang tumbuh dan berkembang di Sulawesi Tengah,” lanjutnya.

Konsep ini bukan sekadar wacana akademis. Ia mencerminkan realitas para sineas Sulawesi Tengah yang sering kali harus berkreasi dengan perangkat terbatas, tetapi justru dari keterbatasan itulah lahir ide-ide segar yang luar biasa. Mereka tidak berusaha meniru gaya Hollywood atau Bollywood, melainkan menciptakan bahasa sinematik mereka sendiri.

Ruang Ambang yang Terbuka

Kata “Tengah” dalam festival ini bukan sekadar penanda geografis. Ia adalah metafora untuk keberagaman yang harus melebur sebagai satu kesatuan baru. Lebih dari itu, festival ini menekankan konsep “liminalitas” – berada di ruang ambang yang terbuka untuk berbagai peluang dan pertanyaan.

Liminalitas adalah konsep yang dalam. Ia menggambarkan kondisi di mana seseorang atau sesuatu berada di antara dua keadaan, tidak lagi berada di kondisi lama tetapi belum sepenuhnya memasuki kondisi baru. Dalam konteks sinema Sulawesi Tengah, ini adalah kondisi yang sangat akurat: tidak lagi terikat sepenuhnya pada tradisi lama, tetapi juga belum sepenuhnya terintegrasi dengan modernitas global.

“Di ruang ambang inilah kreativitas sesungguhnya lahir,” jelas Kifu. “Ketika kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, ketika kita terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, di situlah keajaiban terjadi.”

Salah satu film yang ikut dikomeptisikan pad aFestival Film Tengah. (©bmzIMAGES/basri Marzuki)
Salah satu film yang ikut dikomeptisikan pad aFestival Film Tengah. (©bmzIMAGES/basri Marzuki)

Lebih dari Sekadar Kompetisi

Festival Film Tengah 2025 dirancang jauh melampaui sekadar kompetisi dan pencarian juara. Berbagai program yang disusun mencerminkan visi holistik tentang bagaimana festival ini ingin berkontribusi pada ekosistem perfilman.

Ruang Tengah, yang merupakan forum komunitas, menjadi ruang dialog tempat para sineas, akademisi, dan penikmat film dapat bertukar pikiran. Pitching Film Project memberikan kesempatan bagi para pembuat film untuk mempresentasikan ide-ide mereka dan mencari dukungan. Program kerjasama Tualang Alteraksi membuka peluang kolaborasi lintas komunitas.

“Kami ingin festival ini menjadi ekosistem yang hidup,” kata Sarah Adilah. “Bukan hanya lima hari acara, tetapi sebuah gerakan yang terus berlanjut sepanjang tahun.”

Investasi untuk Masa Depan

Dukungan dari Kementerian Kebudayaan, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) bukan sekadar bantuan finansial. Ia adalah pengakuan bahwa apa yang sedang tumbuh di Sulawesi Tengah memiliki nilai strategis untuk perkembangan budaya Indonesia.

“Ini adalah investasi untuk masa depan,” ungkap Ifdhal. “Ketika kita bicara tentang soft power Indonesia, film adalah salah satu kekuatan terpenting. Dan film yang kuat adalah film yang berakar pada lokalitas tetapi mampu berbicara universal.”

Festival yang akan berlangsung 6-10 Agustus 2025 di Museum Sulawesi Tengah ini sengaja dibuat gratis dan terbuka untuk semua kalangan. Keputusan ini bukan karena keterbatasan budget, melainkan filosofi bahwa seni harus dapat diakses oleh siapa saja, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial.

Mimpi yang Sedang Terwujud

Sekretariat Sinekoci terus riuh, para penyelenggara masih sibuk berdiskusi tentang detail-detail festival. Ada kegembiraan dalam mata mereka, tetapi juga tanggung jawab besar yang mereka sadari sepenuhnya.

Festival Film Tengah 2025 bukan hanya tentang menonton film atau memberikan penghargaan. Ia adalah tentang membangun komunitas, menciptakan ruang dialog, dan yang terpenting, membuktikan bahwa dari daerah yang sering dianggap ‘pinggiran’ bisa lahir karya-karya yang bermakna universal.

“Kami berharap festival ini tidak selesai dengan kompetisi dan menghasilkan juara,” kata Kifu dengan pandangan yang jauh ke depan. “Lebih dari itu, ini diharapkan menjadi inisiatif positif untuk menumbuhkan ekosistem perfilman, terutama di Sulawesi Tengah sebagai bagian dari ekosistem film global.”

Lima hari pada 6-10 Agustus nanti, Museum Sulawesi Tengah akan menjadi saksi sebuah peristiwa bersejarah. Bukan karena kemegahan atau kemeriahan, tetapi karena di tempat itulah sinema Indonesia akan menyaksikan lahirnya sebuah gerakan baru: sinema yang berakar kuat pada lokalitas tetapi berani bermimpi global, sinema yang lahir dari ruang ambang tetapi mampu menciptakan ruang baru untuk masa depan.

Dan semua itu dimulai dari 197 karya film yang akan berbicara dalam bahasa universal: bahasa sinema yang menembus batas ruang dan waktu, menyatukan keberagaman dalam satu layar yang sama. (bmz)

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *