Menggapai Langit Internasional: Palu Berbenah Menuju Pintu Gerbang Timur Indonesia

pojokPALU | Matahari di Kota Palu memang cukup menyengat, tapi dibalik itu ada mimpi besar yang mulai mengudara—bukan hanya dari sayap pesawat yang mendarat di Bandara Mutiara Sis Aljufri, tapi dari ambisi kolektif sebuah kota yang ingin menancapkan bendera di peta penerbangan dunia.
Peningkatan status Bandara Mutiara Sis Aljufri menjadi bandara internasional, resmi ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 37 Tahun 2025, bukan sekadar perubahan nama. Ini adalah pintu gerbang bagi Palu—dan Sulawesi Tengah secara luas—untuk masuk ke dalam arus global: pariwisata, investasi, konektivitas, dan diplomasi udara.
Dan di balik mimpi besar itu, Wakil Wali Kota Palu, Imelda Liliana Muhidin, tampil sebagai salah satu sosok yang paling vokal mendorong kesiapan kota. Dalam rapat koordinasi bersama Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid dan sejumlah pemangku kepentingan di Kantor Gubernur, Rabu (13/8/2025), ia menegaskan: “Kami siap berkolaborasi. Tapi kuncinya, lahan.”
Lahan: Batu Sandungan Menuju Impian
Lahan, kata Imelda, adalah nadi dari rencana pengembangan bandara. Proyek peningkatan kapasitas landasan pacu—agar mampu menampung pesawat berbadan lebar dan penerbangan jarak jauh—diperkirakan akan menjangkau hingga kawasan Petobo, salah satu wilayah yang masih menyimpan trauma likuefaksi pasca-gempa 2018.
“Kita akan lihat taksiran harga lahan, karena diperkirakan sampai ujung Petobo,” ujarnya, dengan nada yang campur antara realistis dan optimis. Ia sadar, pembebasan lahan bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal keadilan sosial, kompensasi, dan kepercayaan masyarakat.
Namun, bagi Imelda, tantangan itu bukan penghalang. Justru, ini momentum untuk merancang ulang wajah kota—lebih hijau, lebih terencana, dan lebih inklusif.
Ekosistem Pariwisata Harus Menyusul
Bandara internasional tanpa infrastruktur pendukung ibarat kapal tanpa pelabuhan. Maka, Pemkot Palu tak hanya fokus pada aspal dan beton di ujung landasan, tapi juga pada kamar-kamar hotel, restoran, transportasi darat, dan destinasi wisata.
“Mercure itu, InsyaAllah, akan hadir kembali,” kata seorang peserta rapat, menyebut salah satu hotel bintang empat yang pernah menjadi ikon pariwisata Palu sebelum bencana. Rencananya, satu unit akan dibangun sementara, sementara fasilitas lain akan dimaksimalkan.
Bagi pelaku usaha mikro dan pelaku seni budaya di Palu, ini adalah angin segar. Dengan status baru bandara, peluang untuk menyelenggarakan event internasional—mulai dari festival budaya, konferensi regional, hingga sport tourism—membuka harapan baru.
“Kita upayakan maksimal agar Kota Palu menjadi destinasi wisata dunia internasional untuk segala event,” tegasnya.
Palu, Bukan Cuma Transit—Tapi Tujuan
Dulu, Palu mungkin hanya dikenal sebagai transit point menuju Taman Nasional Lore Lindu atau Danau Poso. Kini, dengan bandara internasional, kota ini ingin menjadi tujuan utama.
Gagasan ini didukung penuh oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Gubernur Anwar Hafid melihat bandara sebagai game changer—pengubah permainan dalam narasi pembangunan daerah.
“Ini bukan soal penerbangan saja, tapi soal martabat. Soal akses. Soal keadilan geografis,” ujar seorang staf pemerintah provinsi yang hadir dalam rapat, berbicara di sela-sela jeda.
Dengan kemampuan melayani penerbangan charter dan reguler dari luar negeri, Palu bisa menjemput wisatawan dari Malaysia, Timur Tengah, bahkan Eropa, terutama yang tertarik pada wisata sejarah, religi, dan alam ekstrem pasca-bencana.
Membayangkan Masa Depan
Bayangkan: pagi hari di Bandara Mutiara Sis Aljufri, petugas imigrasi memeriksa paspor seorang turis asal Dubai yang datang untuk mengikuti recovery tour—menyusuri bekas likuefaksi, mendengar kisah ketangguhan warga, dan menyaksikan kota yang bangkit dari reruntuhan.
Di malam hari, acara cultural night digelar di Taman Nasional, dengan tarian tradisional Kulawi, dan Kaili menggema di bawah lampu sorot. Hotel-hotel mulai penuh. Warung kopi di Jalan Prof. Muh. Yamin ramai dikunjungi turis yang ingin merasakan kopi Kamanuru dan kaledo beserta uvemvoi hangat.
Itulah masa depan yang sedang dirajut, perlahan, oleh para pemimpin, birokrat, dan warga Palu.
Tantangan Masih Panjang
Tentu, jalan menuju “Palu Internasional” tidak mulus. Selain persoalan lahan, tantangan lain mengintai: kapasitas SDM, keamanan, kesiapan sistem imigrasi, hingga kualitas layanan publik.
Namun, seperti pesawat yang butuh dorongan kuat di awal sebelum akhirnya terangkat ke langit, Palu tampaknya telah menemukan momentumnya.
Dengan status baru Bandara Mutiara Sis Aljufri, bukan hanya roda pesawat yang akan berputar lebih sering—tapi roda ekonomi, budaya, dan harapan warga Kota Palu pun mulai bergerak.
Palu tidak lagi ingin hanya dikenang karena bencana. Kali ini, kota ini ingin dikenang karena beraninya bermimpi. (bmz)