Merebut Kembali Masa Kanak-kanak: Palu Bergerak Melawan Perkawinan Usia Anak

Di balik angka statistik perkawinan usia anak yang mengkhawatirkan, tersimpan cerita-cerita kelam tentang masa kanak-kanak yang terpotong. Kini, Pemerintah Kota Palu berkomitmen menyusun strategi komprehensif untuk melindungi generasi penerus dari praktik yang merenggut hak-hak dasar mereka.
pojokPALU | Di ruang rapat Bappeda Kota Palu, Selasa (8/7/2025), puluhan orang berkumpul dengan satu misi mulia: menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia. Mereka adalah para pemangku kepentingan yang hadir dalam kegiatan Penyusunan Strategi Daerah Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Usia Anak—sebuah upaya kolektif untuk menghadapi masalah yang telah menggerogoti fondasi generasi bangsa.
Sekretaris Daerah Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, dalam pembukaan kegiatan tersebut, tidak menyembunyikan keprihatinannya. Dalam setiap kata yang diucapkannya, terpancar kegelisahan seorang ibu yang melihat anak-anak di sekitarnya kehilangan masa kanak-kanak mereka terlalu cepat.
“Anak-anak yang menikah di usia dini seringkali kehilangan hak-hak dasar mereka, seperti hak atas pendidikan, hak untuk bermain, dan hak untuk tumbuh kembang secara optimal,” ujar Sekda Irmayanti dengan nada penuh penekanan.
Ketika Masa Kanak-kanak Berakhir Terlalu Cepat
Perkawinan usia anak bukan sekadar angka statistik yang dingin. Di balik setiap data tersebut, tersimpan cerita tentang mimpi yang kandas, pendidikan yang terhenti, dan masa depan yang suram. Fenomena ini tidak hanya merampas hak-hak fundamental anak, tetapi juga menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.
Dalam pandangan Pemerintah Kota Palu, perkawinan usia anak merupakan isu multidimensional yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh anak yang bersangkutan, tetapi juga keluarga, masyarakat, hingga masa depan bangsa. Anak-anak yang dipaksa menikah di usia dini tidak hanya kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan, tetapi juga rentan terhadap berbagai masalah kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan yang berkepanjangan.
“Data dan fakta menunjukkan bahwa perkawinan usia anak masih menjadi tantangan nyata yang membutuhkan kolaborasi semua pihak untuk mengatasinya,” tegas Sekda Irmayanti, menyuarakan keprihatinan yang telah lama mengendap di hati para pengambil kebijakan.
Sebuah Strategi Lahir dari Kesadaran Kolektif
Ruang rapat Bappeda Kota Palu hari itu menjadi saksi bisu lahirnya sebuah komitmen bersama. Kehadiran berbagai elemen masyarakat—dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, hingga akademisi—menunjukkan bahwa persoalan perkawinan usia anak tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan parsial.
Wali Kota Palu, melalui sambutannya yang dibacakan Sekda, menekankan bahwa kegiatan penyusunan strategi daerah ini bukanlah sekadar formalitas. “Kegiatan ini harus menjadi upaya kolektif yang terukur, terkoordinasi, dan berkelanjutan,” tegas pesan yang disampaikan.
Visi yang diusung bukan hanya tentang pencegahan, tetapi juga tentang penanganan yang komprehensif. Strategi yang akan lahir dari forum ini diharapkan bersifat komprehensif, implementatif, dan responsif terhadap kebutuhan spesifik di Kota Palu.
Menggali Akar Masalah
Dalam upaya menyusun strategi yang efektif, para peserta kegiatan diajak untuk melakukan identifikasi mendalam terhadap akar masalah perkawinan usia anak. Fenomena ini tidak bisa dipandang secara simplistis sebagai masalah individual, melainkan sebagai hasil dari interaksi kompleks berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan struktural.
Kemiskinan seringkali menjadi faktor pendorong utama perkawinan usia anak. Keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi melihat pernikahan sebagai solusi untuk mengurangi beban finansial. Di sisi lain, norma budaya dan tradisi yang mengagungkan pernikahan dini juga turut melanggengkan praktik ini.
Ketidaksetaraan gender menjadi dimensi lain yang tidak bisa diabaikan. Anak perempuan seringkali menjadi korban utama perkawinan usia anak, dipandang sebagai “beban” yang harus segera “diserahkan” kepada keluarga lain melalui pernikahan.
Sekolah Khusus Keluarga: Inovasi dalam Pencegahan
Salah satu keunikan pendekatan yang diusung Pemerintah Kota Palu adalah integrasi strategi pencegahan perkawinan usia anak dengan program prioritas daerah yaitu Sekolah Khusus Keluarga. Program ini menempatkan keluarga sebagai garda terdepan dalam menghadapi berbagai dinamika sosial, termasuk pernikahan usia anak.
Konsep Sekolah Khusus Keluarga tidak hanya fokus pada aspek edukasi, tetapi juga pada pemberdayaan keluarga untuk menjadi benteng pertahanan terhadap praktik-praktik yang merugikan anak. Melalui program ini, diharapkan orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak anak dan dampak negatif perkawinan usia dini.
Kolaborasi Multi-Stakeholder
Keberhasilan strategi pencegahan perkawinan usia anak sangat bergantung pada kolaborasi yang solid antara berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah Kota Palu menyadari bahwa upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan sinergi dengan berbagai pihak.
Dalam kegiatan tersebut, Sekda Irmayanti menyampaikan apresiasi kepada Yayasan Gemilang Sehat Indonesia dan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi Provinsi Sulawesi Tengah yang telah menginisiasi dan memfasilitasi penyusunan strategi ini. Kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil ini menunjukkan komitmen untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam upaya perlindungan anak.
Kehadiran Ketua TP-PKK Kota Palu, Hj. Diah Puspita, S.A.P.,M.A.P, yang juga merupakan Bunda Generasi Berencana (GenRe) Kota Palu, semakin memperkuat dimensi pemberdayaan perempuan dalam strategi ini. Peran perempuan, khususnya ibu, sangat krusial dalam melindungi anak-anak dari praktik perkawinan usia dini.
Mengukur Dampak, Membangun Masa Depan
Strategi yang akan dihasilkan dari kegiatan ini tidak hanya berfokus pada aspek pencegahan, tetapi juga pada mekanisme monitoring dan evaluasi yang ketat. Setiap program yang akan dilaksanakan harus dapat diukur dampaknya terhadap penurunan angka perkawinan usia anak di Kota Palu.
Pendekatan yang digunakan juga harus bersifat responsif terhadap perkembangan zaman. Tantangan perkawinan usia anak di era digital memiliki karakteristik yang berbeda dengan masa lalu. Media sosial, misalnya, bisa menjadi medium yang mempercepat proses “perjodohan” anak-anak, sehingga strategi pencegahan juga harus adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Pesan Spiritual dalam Misi Kemanusiaan
Dalam penutup sambutannya, Sekda Irmayanti menyampaikan pesan yang menyentuh dimensi spiritual: “Insyaallah ilmu, informasi, dan pengalaman yang dibagikan hari ini akan bernilai ibadah, serta menjadi pijakan penting dalam melindungi masa depan anak-anak kita.”
Pesan ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan perkawinan usia anak tidak hanya dipandang sebagai tugas administratif pemerintah, tetapi juga sebagai misi kemanusiaan yang bernilai ibadah. Ketika melindungi anak-anak dari praktik yang merugikan, sesungguhnya sedang dilakukan investasi untuk masa depan yang lebih baik.
Sebuah Komitmen untuk Generasi Mendatang
Kegiatan penyusunan strategi daerah pencegahan perkawinan usia anak di Kota Palu bukan hanya tentang dokumen perencanaan yang akan tersimpan rapi di lemari arsip. Ini adalah tentang komitmen untuk memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan usianya.
Setiap anak berhak untuk bermain, belajar, dan bermimpi tentang masa depan yang cerah. Mereka berhak untuk merasakan masa kanak-kanak yang penuh dengan tawa, pembelajaran, dan eksplorasi. Perkawinan usia anak merampas semua hak fundamental tersebut.
Melalui strategi yang akan dihasilkan dari kegiatan ini, Pemerintah Kota Palu berharap dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak. Lingkungan di mana setiap anak merasa aman, terlindungi, dan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih cita-cita mereka.
Harapan di Ujung Jalan
Saat para peserta kegiatan meninggalkan ruang rapat Bappeda Kota Palu hari itu, mereka membawa serta harapan besar untuk masa depan yang lebih baik. Harapan bahwa suatu hari nanti, tidak akan ada lagi anak-anak yang harus menikah sebelum waktunya. Harapan bahwa setiap anak dapat menikmati masa kanak-kanak mereka dengan penuh kegembiraan dan tanpa beban yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Strategi yang akan dihasilkan bukan hanya sekadar dokumen, tetapi blueprint untuk menciptakan generasi yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi tantangan masa depan. Generasi yang tidak dipaksa tumbuh dewasa sebelum waktunya, tetapi dibiarkan berkembang secara alami sesuai dengan tahapan perkembangan mereka.
Dalam setiap langkah yang akan diambil, terdapat komitmen untuk melindungi yang paling rentan di antara kita: anak-anak. Karena sejatinya, masa depan bangsa terletak pada kemampuan kita melindungi dan memberdayakan generasi penerus. (bmz)